Laman

Senin, 05 Maret 2012




sejarah Nabi<a href='http://sejarahmuhammad.blogspot.com/'> Muhammad</a>,sejarah<a href='http://sejarahmuhammad.blogspot.com/'> Muhammad</a>, pimpinan muslimin,Sejarah Nabi<a href='http://sejarahmuhammad.blogspot.com/'> Muhammad</a> sang pimpinan muslimin
Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di Medinah ia berkata: "Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itupun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu mendapat balasan sepuluh kali lipat." Dan dalam khutbahnya yang kedua dikatakannya: "Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukanNya dengan apapun. Benar-benar takutlah kamu kepadaNya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu; dan dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian saling cinta-mencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri."

Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.

Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah - Utusan Allah; tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: "Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan RasulNya."

Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.

Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya iapun duduk dimana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak merekapun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu dipangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang salat, dipercepatnya sembahyangnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah-tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia wafat, baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi - karena untuk keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya:

"Sudah cukup ada yang lain," kata sahabat-sahabatnya itu.

"Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita," katanya. "Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka."

Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata: "Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya." Ketika ada seorang wanita datang ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata: "Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami." Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman. Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri Zainab puterinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.

Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit; kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya: "Hendaknya kau berlaku lemah-lembut." Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.

Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.

"Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu." (Qur'an, 2: 194)

"Dengan hukum qishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti." (Qur'an, 2: 179)

Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepadaNya ia tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa-nafsunya. Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau sudah jasmani yang dapat berkuasa kedalam rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dan akhirnya kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita, padahal kita sudah tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah kekuasaan kita.

Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muhammad sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasai, maka ia keras sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya'ir6 dua hari berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur7. Pada hari-hari yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan roti sop8. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.

Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.

Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh orang lain yang juga memerlukannya guna mengkafani mayat. Pakaian itu diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi sekali-sekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan seluar.

Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Qur'an dapat dibaca:

"Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu." (Qur'an, 2: 57)

"Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik kepadamu." (Qur'an, 28: 77)

Dan dalam hadis: "Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok."

Akan tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan disamping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga menyertakan maaf disamping keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang sungguh-sungguh.

Inilah dasar yang telah diletakkan oleh Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab: "Ma'rifat adalah modalku, akal-pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, faqr adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad perangaiku dan hiburanku adalah dalam sembahyang."

Enhanced by Zemanta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar