Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di
Medinah
ia berkata: "Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka
sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itupun tidak
ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu
mendapat balasan sepuluh kali lipat." Dan dalam khutbahnya yang kedua
dikatakannya: "Beribadatlah kamu sekalian kepada
Allah
dan janganlah mempersekutukanNya dengan apapun. Benar-benar takutlah
kamu kepadaNya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang
kamu katakan baik itu; dan dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian
saling cinta-mencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar
janjinya sendiri."
Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini ia berbicara dengan
sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada orang banyak,
sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang atap
mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga
tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan
pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.
Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban
Islam
merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta
teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya
yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah - Utusan Allah; tapi
tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai
raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia
berkata: "Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak
Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan
RasulNya."
Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil
bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia
berkata: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling
diagungkan.
Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya iapun duduk dimana saja ada
tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul
dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak merekapun
diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu dipangkuannya.
Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak
dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal
di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan
ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang
lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada
orang yang menunggu ia sedang salat, dipercepatnya sembahyangnya lalu
ditanyanya orang itu akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia
meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu
senyum. Dalam rumah-tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia mencuci
pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit
terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan
bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang
menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang
dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri
dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga
tatkala ia wafat, baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi
- karena untuk keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia,
selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi
datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat
menegurnya:
"Sudah cukup ada yang lain," kata sahabat-sahabatnya itu.
"Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita," katanya. "Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka."
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama
Khadijah,
selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah
berkata: "Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti
terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya." Ketika
ada seorang wanita datang ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya
baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata: "Ketika masih ada
Khadijah ia suka mengunjungi kami." Bahwa mengingat hubungan baik masa
lampau adalah termasuk iman. Begitu halusnya perasaannya, begitu
lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika
ia sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri Zainab
puterinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan, bila
ia berdiri dibawanya lagi.
Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu,
yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi
seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan
melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun
membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat
itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit;
kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah
naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu binatang itu
ditarik-tariknya, iapun ditegurnya: "Hendaknya kau berlaku
lemah-lembut." Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu
memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.
Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga
bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri.
Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara
Muhammad
dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disinilah dasar
peradaban Islam yang berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban
lain. Islam menekankan pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan
berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin
ada.
"Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu." (Qur'an, 2: 194)
"Dengan hukum qishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti." (Qur'an, 2: 179)
Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang
bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain.
Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan dan
kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak
mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepadaNya ia
tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam
hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan
jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang
lain dan tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan
hawa-nafsunya.
Muhammad
dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di
bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah
karenanya. Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau
sudah jasmani yang dapat berkuasa kedalam rohani dan akal pikiran dapat
dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dan akhirnya kehidupan materi ini juga
yang dapat menguasai hidup kita, padahal kita sudah tidak memerlukan
yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah kekuasaan kita.
Di sini
Muhammad
adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu
kekuatan yang membuat dia sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala
yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang
mengatakan: Dalam memberi
Muhammad
sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup
ini yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasai, maka
ia keras sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya
dengan keinginannya hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam
hidup materi itu, ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua
itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia tidur
hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak pernah
kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya'ir6 dua hari
berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur7. Pada hari-hari
yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan
roti sop8. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah
perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga
pencernaannya itu.
Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak
berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia
dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.
Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam
makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian
kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh orang
lain yang juga memerlukannya guna mengkafani mayat. Pakaian itu
diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan
baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi
sekali-sekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman
sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki
demikian. Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia
memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa
sepasang sepatu dan seluar.
Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi
bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai
dengan ajaran agama. Dalam Qur'an dapat dibaca:
"Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu." (Qur'an, 2: 57)
"Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah
kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan
berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik
kepadamu." (Qur'an, 28: 77)
Dan dalam hadis: "Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup
selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan
mati besok."
Akan tetapi
Muhammad
ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti
kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat
dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan,
oleh harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan
menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada
kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh
Muhammad
sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah
persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan
yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang
terjalin dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong
oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam
menyertakan rasa keadilan disamping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga
menyertakan maaf disamping keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila
mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan
benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang
sungguh-sungguh.
Inilah dasar yang telah diletakkan oleh
Muhammad
dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam
cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada
Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab: "Ma'rifat adalah modalku,
akal-pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu
kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan
perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan
adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, faqr adalah kebanggaanku, menahan
diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku, kejujuran perantaraku,
ketaatan adalah ukuranku, berjihad perangaiku dan hiburanku adalah dalam
sembahyang."