PT Texmaco, Dinamika Inovasi Teknologi (1)
Latar Belakang dan Sejarah
Marimutu Sinivasan, pendiri Texmaco Group, awalnya adalah seorang pedagang tekstil yang banyak melakukan impor tekstil dari India pada tahun 50-an. Karena aktivitas bisnisnya berjalan baik, dia lalu mendirikan pabrik pemintalan tradisional, bernama Firma Djaya Perkasa di Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 1961. Pabrik ini dilengkapi sekitar 300 peralatan tenun tangan tradisional yang dibeli dari pengrajin dan tukang-tukang kayu di sekitar Pekalongan. Sebagai kota yang akrab dengan aktivitas pemintalan, mesin-mesin pemintalan kayu tradisional bukanlah sesuatu yang baru di Pekalongan.
Karena aktivitas bisnisnya semakin berkembang dan permintaan pasar domestik terhadap tekstil demikian besar, pada tahun 1967 Marimutu Sinivasan kemudian memperluas aktivitas bisnisnya dengan membuka sebuah pabrik pemintalan baru di Pemalang. Pabrik ini juga dilengkapi dengan peralatan tenun tradisional untuk operasionalnya.
Selain karena kepiawaian Marimutu Sinivasan dalam menangkap sinyal perkembangan bisnis tekstil yang demikian menjanjikan, ekspansi bisnis ke Pemalang ini juga dimungkinkan karena lingkungan bisnis yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia saat itu untuk industri tekstil benar-benar kondusif. Presiden Soeharto dengan teknokrat ekonominya pada awal orde baru mengadopsi strategi subsitusi impor (SI) sebagai strategi industrialisasinya. Untuk mendukung strategi SI ini banyak perubahan drastis diperkenalkan oleh pemerintah menyangkut kebijakan-kebijakan perdagangan dan investasi. Dan ini sangat terasa pada industri-industri yang berkenaan dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, minuman dan tekstil. Industri tekstil misalnya, diberikan banyak sekali insentif untuk berkembang, seperti adanya bebas bea masuk untuk impor barang modal dan mesin peralatan serta disertai pula berbagai keringanan dan pembebasan pajak. Selain itu ekonomi Indonesia memang tumbuh pesat yang memungkinkan masyarakat memiliki pendapatan yang memadai. Semua hal ini punva peran penting dalam mendorong maraknya bisnis tekstil di Indonesia.
Karena prospek bisnis yang demikian menggairahkan, berbagai penyesuaian dilakukan oleh Marimutu Sinivasan. Pada bulan November 1970 misalnya, nama perusahaan dirubah dari Firma Djaya Perkasa menjadi TEXMACO JAYA (TJ). Texmaco adalah nama yang merupakan kependekan dari Textile Manufacturing Company. Sebuah nama yang mengandung nuansa internasional yang kental.
Sebagai respon terhadap demikian pesatnya permintaan akan produk tekstil di pasar domestik dan juga terdorong oleh berbagai insentif yang diberikan pemerintah, TJ pada tahun 1970 mengimpor mesin pemintal bekas dari Korea (Wang Pong) dan India (Sun Rise and Cooper) untuk pabrik di Pemalang dan Pekalongan. Disamping karena harganya yang relatif terjangkau, keputusan untuk mengimpor mesin pemintal bekas ini juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan pemerintah di kurun 1971-1974, yang mendorong dan mengijinkan pengusaha-pengusaha di industri tekstil seperti Marimutu Sinivasan untuk mengimpor mesin-mesin tekstil bekas yang usianya dibawah 10 tahun.
Tahapan Perkembangan Kemampuan Teknologi di TPE
A. Asimilasi dari Mesin Tekstil Impor (1970-1979)
Karena sebelumnya hanya menggunakan mesin kayu tradisional dan belum memiliki banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan mesin tekstil modern, manajemen TJ membentuk dua tim kecil, satu untuk pabrik yang di Pemalang dan satu lagi untuk pabrik yang di Pekalongan. Tim ini bertanggungjawab untuk mengoperasikan, merawat dan memelihara mesin tekstil yang baru diimpor ini di tiap lokasi.
Sesuai dengan kesepakatan, perusahaan India dan Korea yang menjual mesin tekstil ke Texmaco pada saat itu melakukan pembelajaran dan transfer pengetahuan dan teknologi kepada TJ berupa explicit knowledge. Explicit knowledge merupakan seperangkat ilmu atau pengetahuan yang telah tertuang atau terkodifikasi dalam bentuk dokumen atau tulisan yang bisa dibaca dan dipelajari. Informasi yang diberikan mengenai spesifikasi mesin dan berbagai petunjuk (manual) tentang bagaimana mesin digunakan dalam proses produksi. Selain itu mereka juga terlibat aktif dalam merancang pabrik untuk keperluan pemasangan mesin serta dalam pembangunannya. Yang menarik, sebagai rangkaian dari proses pembelian mesin impor ini ada juga persetujuan dan kesepakatan antara manajemen TJ dengan perusahaan pengimpor mesin ini bahwa teknisi dari perusahaan India dan Korea itu berkewajiban untuk memberikan training kepada teknisi TJ serta turut pula mendampingi mereka dalam proses awal dalam mengoperasikan, memelihara dan merawat mesin-mesin impor tadi.
Pelatihan dan pendampingan yang dilakukan para teknisi dari Korea dan India benar-benar membantu para teknisi dari TJ untuk memahami dan menginternalisasi berbagai dokumen dan manual tentang mesin tekstil menjadi sebuah pemahaman dan pengetahuan yang dipahami betul oleh mereka dalam operasional sehari-hari. Dalam jargon yang sedikit berbau akademik, dalam fase ini terjadi proses pembelajaran dan transfer dari explicit knowledge dari teknisi dari India dan Korea menjadi tacit knowledge bagi teknisi-teknisi TJ. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang sudah terinternalisasi dengan baik dan menjadi pengalaman sehari-hari yang tak mudah untuk dilupakan. Teknisi dari perusahaan Korea dan India tetap berada di TJ selama kurang lebih sebulan untuk membantu staf dan teknisi TJ dalam menjalankan pabrik serta membantu bila ada masalah-masalah yang terkait dengan operasionalisasi mesin itu. Dalam proses pendampingan ini teknisi TJ banyak belajar dari dialog-dialog kecil dan informal di pabrik, belajar dari pengalaman real dalam menyelesaikan masalah jika ada kerusakan mesin serta belajar pula bagaimana mengganti komponen-komponen yang kebetulan rusak.
Ketika teknisi asing tak lagi berada di TJ, jika terjadi sesuatu pada mesin seperti kerusakan pada suku cadang (spare part), mesin mati, rusak dan sejenisnya, dengan pengalaman yang terbatas dan peralatan yang seadanya tim teknisi dari TJ berusaha memperbaikinya sendiri dengan menggunakan manual mesin yang ada serta dari pengalaman 'on the job training' dari teknisi Korea dan India dulu. Tapi dalam banyak kasus, proses perbaikan dan penggantian komponen dan suku cadang banyak dilakukan dengan 'trial and error'. Melalui proses coba-coba ini teknisi-teknisi TJ semakin memperoleh pemahaman, pengetahuan dan pengalaman mengenai suku cadang, komponen serta keseluruhan bagian mesin. Karena lingkup pekerjaan yang semakin luas dan menuntut lebih banyak perhatian, maka tim teknisi TJ ini merekrut beberapa anggota baru yang telah berpengalaman tentang permesinan (bukan spesifik mesin tekstil) dari berbagai bengkel motor lokal disekitar lokasi pabrik. Anggota tim yang baru ini membawa semacam kegairahan baru dan dengan pengetahuan permesinan yang telah mereka miliki tim teknisi TJ kini memiliki 'knowledge base' yang lumayan mengenai bagaimana mengoperasikan, merawat serta memperbaiki mesin tekstil yang ada.
Seiring dengan berjalannya waktu, mesin tekstil yang digunakan TJ dalam operasionalisasinya sehari-hari semakin lama menjadi semakin usang. Suku cadang dan komponen semakin tua dan dari hari ke hari semakin sulit untuk diperbaiki. Banyak suku cadang dan komponen harus diganti baru. Tetapi masalahnya suku cadang dan komponen tersebut harus diimpor terlebih dahulu. Ada semacam 'krisis' atau kekalutan di sini. TJ di satu sisi tak mungkin untuk menunda operasi dan proses produksinya karena demikian besarnya permintaan tekstil dari pasar domestik. Di sisi yang lain untuk mengimpor komponen dan suku cadang mesin tekstil selain biayanya relatif mahal juga terdapat time lag dari saat memesan sampai barang itu tiba di pabrik TJ.
Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1979 dua tim teknisi yang tadinya bertanggung jawab terhadap perawatan dan perbaikan mesin tekstil di Pemalang dan Pekalongan digabung oleh manajemen TJ menjadi satu unit tersendiri. Unit ini kemudian dijadikan embrio bagi lahirnya bengkel mesin kecil sebagai sebuah entitas yang terpisah dari TJ. Bengkel ini bermarkas di Kaliungu. Dengan menjadi sebuah entitas yang terpisah dari TJ, tanggungjawab dari entitas baru ini diperluas, bukan hanya sekedar untuk perawatan dan perbaikan dari mesin TJ saja akan tetapi juga untuk membuat spare part-nya. Jadi mulai terlihat pada saat itu, bahwa TJ di satu sisi tetap berkonsentrasi dalam menjalankan pabrik tekstil dan bengkel mesin di sisi yang lain bertanggung jawab untuk perawatan dan perbaikan mesin dan juga membuat spare parts dari mesin-mesin tekstil yang dimiliki TJ.
Membuat spare parts dan komponen mesin tekstil sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi entitas atau unit baru ini, karena orang-orang yang terlibat di unit ini telah mempunyai cukup pengetahuan, pemahaman dan skill tentang mesin yang mereka dapat dari pengalaman merawat dan memperbaiki mesin sebelumnya. Dan dari pengalaman mereka itu banyak spare parts dan komponen telah mampu mereka ganti dan ciptakan tanpa sengaja dari proses trial and error sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam proses penciptaan suku cadang dan komponen mesin tekstil ini, para teknisi tak menggunakan paten atau manual tertentu, cukup dengan menggunakan feeling saja. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ketika unit ini didirikan, para teknisi yang berkecimpung di dalamnya telah memiliki knowledge base yang memadai untuk membuat suku cadang dan komponen mesin tekstil. Dan itu semua mereka dapatkan dari pengalaman mereka selama ini dalam merawat mesin-mesin tekstil TJ.
B. Mengembangkan Mesin Tekstil Pertama Texmaco (1979-1985)
Pada akhir dekade 70-an, keadaan lingkungan eksternal maupun internal sangat mendukung untuk pengembangan bisnis Texmaco Grup. Lonjakan ekonomi akibat bonanza minyak memungkinkan ekonomi Indonesia terus tumbuh dan berkembang sangat pesat. Akibatnya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat Indonesia secara umum pun meningkat. Faktor-faktor ini tentu saja berimplikasi positif terhadap bisnis tekstil yang diindikasikan oleh semakin membanjirnya permintaan domestik terhadap tekstil. Keadaan ini semakin bertambah kondusif karena pemerintah terus memberikan insentif kepada para industrialist di industri tekstil seperti adanya pembebasan bea masuk untuk impor barang modal dan peralatan serta adanya keringanan bahkan pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan tekstil.
Perkembangan lingkungan internal Texmaco Grup juga sangat menunjang dan menantang bagi perkembangan perusahaan secara umum. Pada tahun 1975 misalnya, karena permintaan domestik yang demikian tinggi terhadap produk-produk tekstil, Texmaco mendirikan pabrik garmen baru, PT Ungaran Sari Garment (USG) di Ungaran (Jawa Tengah). Selain itu divisi lain di Texmaco Jaya juga telah mampu mengembangkan benang dari polyester di tahun 1977. Divisi ini kemudian bermetamorfosis menjadi PT tersendiri yang bernama PT Texmaco Taman Syntetics (TTS) yang berlokasi di Kaliungu. Perkembangan ini tentu saja semakin merangsang dan mendorong Texmaco Jaya untuk terus maju dan meningkatkan volume produksinya.
Karena perkembangan lingkungan eksternal yang begitu kondusif bagi pengembangan aktivitas bisnis, serta telah mampunyai TTS yang mengembangkan benang dari polyester, prospek bisnis untuk Texmaco Grup terlihat semakin menjanjikan. Texmaco Grup kemudian merespon semua kondisi itu dengan membuka pabrik tekstil baru di Kaliungu pada tahun 1980. Lokasi pabrik baru ini persis di lokasi dimana bengkel mesin berada.
Dibukanya pabrik baru di Kaliungu ternyata membawa banyak implikasi. Dan diskusi antara manajemen TJ sebagai pengguna dari mesin-mesin tekstil dan para teknisi dari bengkel mesin, manajemen TJ menyadari bahwa untuk menaikkan volume produksi dan pada saat yang sama juga meningkatkan kualitas, TJ membutuhkan mesin tekstil yang lebih canggih untuk pabrik yang baru. Mesin tekstil yang selama ini ada sudah ketinggalan jaman dan tak bisa lagi memenuhi volume dan kualitas yang diharapkan oleh USG (perusahaan garmen Texmaco) dan para pelanggan lainnya. Walaupun kondisi makro memang kondusif, pasar tekstil domestik telah kelihatan jenuh. Pemerintah pun menyadari hal ini dan industri tekstil semakin diorientasikan untuk melayani pasar ekspor. Pemerintah mulai merubah strategi industrialisasinya dari substitusi impor kepada strategi pembangunan yang berorientasi ekspor. Adanya 'pemaksaan' untuk lebih mengorientasikan diri pada ekspor membuat manajemen TJ harus berbenah, karena pasar ekspor lebih 'cerewet' dan menginginkan tekstil yang lebih berkualitas. Kalau tetap ingin mendapat kemudahan dari pemerintah dengan berbagai insentif yang ada mau tidak mau TJ harus pula meningkatkan kualitas produknya.
Regulasi pemerintah yang membebaskan industri yang berorientasi ekspor termasuk industri tekstil dari bea masuk impor dan keringanan pajak untuk spare part, barang modal, intermediate goods, peralatan dan material dasar, benar-benar mempengaruhi dan memicu TJ sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia untuk menginvestasikan mesin tekstil yang lebih baik. Perlu juga dicatat bahwa keputusan untuk mengimpor mesin yang baru dan kualitas juga 'dipaksa' oleh peraturan pemerintah yang mencabut regulasi yang mengijinkan industrialist untuk mengimpor mesin tekstil bekas. Dengan kata lain, kalau industrialist mau tetap survive dan kompetitif, mau tidak mau mereka harus mengimpor mesin baru. Akibatnya, untuk pabrik tekstil baru di Kaliungu, Texmaco Jaya lalu mengimpor Picanol (rapier looms), mesin tekstil dari Belgia. Rapier looms ini memang merupakan mesin tekstil yang lebih baik dari shuttle looms yang selama ini dimiliki Texmaco Jaya dalam hal kecepatan maupun kapasitasnya.
Dalam proses merancang dan membangun pabrik tekstil yang baru di Kaliungu ini, sebuah tim dari Picanol datang dan bekerja bersama dengan tim dari bengkel mesin Texmaco. Teknisi dari Texmaco berperan aktif berdiskusi dengan tim dari Picanol dalam hal rancangan dan spesifikasi teknik dari peralatan yang diimpor dari Belgia ini. Diskusi secara informal ini terjadi lebih intensif karena teknisi dari bengkel Texmaco tak datang dengan kepala kosong' minta disuapin pengetahuan dari koleganya dari Belgia. Mereka telah mengakumulasi cukup knowledge base tentang mesin tekstil dari pengalaman mereka merawat, memperbaiki, dan membuat spare parts dari mesin-mesin yang selama ini menjadi tanggung jawab mereka.
Ketika para teknisi dari Picanol pergi, bengkel mesin Texmaco kini punya tanggung jawab yang lebih luas. Bengkel mesin kini tak hanya bertanggung jawab untuk memelihara, memperbaiki, dan membuat spare parts dari mesin-mesin lama (shuttle looms) untuk pabrik Texmaco di Pemalang dan Pekalongan saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal merawat dan memperbaiki spare parts dari rapier looms yang ada di pabrik barunya di Kaliungu. Karena lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang semakin luas, teknisi di bengkel mesin Texmaco menyadari bahwa peralatan mereka pun sudah soyogyanya diperbaharui pula. Karenanya pada tahun 1982 peralatan untuk bengkel mesin ini pun ditingkatkan dan dimodernisasi dengan dimilikinya peralatan dan perkakas yang lebih modern dan memiliki presisi yang lebih akurat. Adanya berbagai peralatan yang lebih baik dan modern ini menandai pula era baru dari bengkel mesin Texmaco. Bengkel mesin sederhana kini secara legal telah menjadi perusahaan sendiri yang terpisah dari Texmaco Jaya, dan diberi nama PT. Texmaco Perkasa Engineering (TPE).
Untuk memperkuat perusahaan baru ini, dua ekspatriat dari India yang mempunyai banyak pengalaman dan keahlian dalam merancang model spare parts dan komponen dipekerjakan. Karyawan baru yang lebih berpengalaman dan mempunyai latar belakang mesin tekstil semakin banyak direkrut. Kalau dijumlahkan total pekerja yang ada di TPE saat itu sekitar 60 orang. Adanya anggota baru dengan beragam pengalaman dan keahlian semakin meningkatkan knowledge base dari TPE yang selama ini ini sudah ada dalam hal operasionalisasi, perawatan, dan pembuatan spare parts dari mesin tekstil.
Karena memiliki peralatan dan perkakas yang lebih tepat, modern dan akurasinya lebih baik dalam hal membuat spare part, TPE dari hari ke hari semakin memperkuat kapasitas produksinya (production capacity). Dalam hal investasi misalnya, TPE kini tak hanya mampu memasang peralatan-peralatan standar untuk operasionalisasinya, tetapi juga telah mampu untuk membangun fasilitas workshop-nya sendiri. Dalam hal proses dan pengorganisasian manajemn produksi, TPE sebagai perusahaan tidak hanya mampu untuk melakukan operasi dan perawatan rutin saja tapi juga mampu meningkatkan efisiensi dari berbagai tugas yang ada. Perusahaan bahkan juga mampu membuat spare parts mesin dengan menggunakan model dan desain yang lebih tepat dengan presisi yang lebih akurat. Karena peningkatan pada kapasitas produksi dan juga dari ilmu dan keahlian yang didapat dari pengalaman membuat spare parts dengan menggunakan peralatan baru, perusahaan berhasil beradaptasi dan meningkatkan hasil operasinya. Hasilnya, TPE kini mampu memproduksi spare parts dan komponen yang kualitasnya lebih baik dan reliable untuk Texmaco Jaya.
Diperkenalkannya berbagai peralatan baru yang lebih canggih dan modern sebagai bagian dari investasi jangka panjang perusahaan, memungkinkan TPE memperoleh banyak pengetahuan, keahlian dan pengalaman baru yang berimplikasi kepada peningkatan performa produksinya. Umpan balik (feedbacks) dari proses pembelajaran ini memungkinkan TPE mengakumulasi kemampuan teknologi (technological capabilities). Dalam hal aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan investasi (investment activities) misalnya, perusahaan kini tak hanya menerima teknologi impor apa adanya, tetapi telah mampu melakukan evaluasi, memilah dan memilih teknologi dari sumber yang tepat dan dengan harga yang wajar untuk proses produksinya. Dalam hal pengorganisasian dan proses produksi (process and production organization), perusahaan kini tak hanya mampu melakukan operasi dan perawatan yang sifatnya rutin, tapi juga sudah mampu memperbaiki rancangan dan lay out dari workshop, meningkatkan dan memperbaiki prosedur perawatan mesin, melakukan proses adaptasi dengan berbagai peralatan yang baru serta meningkatkan efisiensi proses produksi dan lain sebagainya. Dapatlah dikatakan bahwa pada fase ini perusahaan telah mampu mengakumulasi kemampuan teknologi (technological capabilities) dalam hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas investasi (investment activities), dalam pengorganisasian proses produksi (process and production organization), dan backward serta forward linkages. Keberhasilan perusahaan dalam mengakumulasikan kemampuan teknologi dalam berbagai kegiatan tadi memungkinkan perusahaan kemudian memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, yang kemudian berimplikasi kepada semakin banyak dan menguatnya kapasitas produksi (production capacities) dan semua ini kemudian memungkinkan munculnya kemampuan-kemampuan teknologi yang baru.
Pembelajaran teknologi (technological learning) yang berbuah kemampuan teknologi (technological capabilities) dan proses perubahan teknis (technical change) yang berbuah peningkatan kapasitas produksi (production capacities) memberikan banyak sekali umpan balik kepada peningkatan kinerja perusahaan. Salah satunya adalah mulai timbul semacam kesadaran kolektif bahwa untuk maju dan kompetitif ke depan perusahaan harus memiliki sendiri peralatan dan fasilitas casting (cetakan) yang memadai. Tidaklah mengherankan jika pada tahun 1983 perusahaan kemudian melakukan diversifikasi aktivitasnya ke foundry, walaupun semua alat dan fasilitasnya memang masih sangat sederhana.
Adanya divisi khusus yang berkonsentrasi pada foundry di TPE memungkinkan TPE kemudian mampu untuk memiliki kontrol yang cukup ketat terhadap input dari suku cadang maupun komponen yang dihasilkan TPE. Akibatnya dari hari ke hari semakin banyak saja suku cadang dan komponen dengan kualitas yang baik yang mampu dihasilkan oleh TPE untuk Texmaco Jaya. Pada 1985 hampir semua suku cadang dan komponen dari mesin tekstil sudah dapat diproduksi oleh TPE dengan kualitas yang baik dan dapat diandalkan. Dalam benak para teknisi TPE saat ini sudah mulai muncul kesadaran dan kepercayaan bahwa TPE sebenarnya sudah memiliki kemampuan untuk merakit bahkan membuat mesin tekstil secara utuh di TPE.
Keyakinan yang demikian besar yang membuncah dalam benak para teknisi TPE seakan menemukan maknanya ketika tahun 1985, banjir besar melanda Pemalang, lokasi di mana pabrik tekstil Texmaco Jaya berada. Mesin-mesin yang ada terendam dan rusak serta tak dapat lagi digunakan untuk beroperasi. Terjadilah semacam 'krisis' di TJ. TPE yang kebetulan bertanggungjawab dalam hal mengoperasikan, merawat dan memperbaiki mesin-mesin tekstil TJ diserahkan amanah untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena selama ini TPE telah mampu mengakumulasi knowledge base yang memadai baik dalam hal kapasitas produksi (production capacities) maupun kemampuan teknologi (technological capabilities), TPE tak lantas merekomendasikan ke manajemen TJ untuk mengganti mesin-mesin yang rusak tadi dengan mesin-mesin yang baru. Tetapi mesin-mesin yang terendam tadi mulai dibongkar dan diperbaiki oleh teknisi-teknisi TPE. Satu demi satu komponen dan suku cadang mesin-mesin tekstil yang rusak tadi dicopot, dibongkar dan diperbaiki oleh teknisi-teknisi TPE. Setelah semua komponen dan suku cadang bisa diperbaiki teknisi-teknisi ini kemudian merakitnya menjadi sebuah mesin yang sama sekali baru dan lengkap!
Keberhasilan para teknisi TPE dalam membongkar, memperbaiki dan merakit mesin-mesin tekstil yang rusak tadi merupakan momentum penting bagi perkembangan inovasi teknologi di TPE selanjutnya. Teknisi TPE menemukan semacam gairah dan semangat baru bahwa kapasitas produksi dan kemampuan teknologi yang selama ini mereka memiliki telah mampu mengantarkan mereka pada sebuah era baru dimana mereka sebenarnya sudah mampu menciptakan mesin tekstil sendiri secara utuh. Dan karena hampir semua cuku cadang dan komponen mesin tekstil sudah mampu mereka produksi sendiri di TPE, maka pada tahun 1985 itu juga TPE kemudian menciptakan mesin tekstil sendiri made in Texmaco!
Karena sudah memiliki alat dan fasilitas foundry dan casting sendiri, semua mesin-mesin tekstil tua yang diimpor dari India pada tahun 1970 (Cooper dan Sun Rise) dilebur dan dicairkan di foundry sebagai bahan baku untuk mesin baru buatan Texmaco. Mesin-mesin baru yang merupakan hasil kerja teknisi-teknisi TPE kemudian menggantikan mesin-mesin impor India di pabrik-pabrik tekstil Texmaco di Pemalang dan Pekalongan.
Berhasilnya TPE membuat mesin tekstil buatan sendiri memungkinkan banyak sekali ilmu, umpan balik, pengalaman dan keahlian baru yang diperoleh teknisi-teknisi TPE. Selain itu masukan dari TJ sebagai pengguna mesin juga banyak memberi arti dan makna akan peningkatan kapasitas produksi dan kemampuan teknologi dari TPE selanjutnya.
Keberhasilan TPE dalam membuat mesin tekstil sendiri juga berpengaruh terhadap pertumbuhan TPE sebagai sebuah perusahaan. Karena dirasakan perkembangannya semakin pesat, aktivitas TPE kemudian dibagi ke dalam dua divisi besar yaitu foundry dan TPE yang 'lama' yang tetap melakoni aktivitas seperti machining, assembling, pattern, dan training. Marimutu Sinivasan pemilik dari Texmaco Grup menjadi presiden direktur TPE.
Munculnya aktivitas atau bagian 'training' secara khusus memang unik, karena selama ini sebagian besar dari training TPE memang dilakukan sambil jalan (on the job). Tetapi itu sebenarnya merupakan respon dari kampanye pemerintah, khususnya Departemen Tenaga Kerja yaitu Gugus Kendali Mutu (GKM), yang memaksa perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk memberikan perhatian lebih serius kepada training untuk meningkatkan kapasitas karyawannya. Sebagai akibat dari GKM ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia termasuk TPE di dalamnya 'dipaksa' untuk merubah 'tacit knowledge' yang tadinya berada di benak para teknisi menjadi 'explicit knowledge' yang terkodifikasi dalam bentuk manual produksi, spesifikasi mesin, prosedur kerja, dsb. Explicit knowledge ini mengambil bentuk buku-buku petunjuk ringkas maupun pamflet-pamflet dan kertas kerja. Ketersediaan berbagai ilmu yang lebih jelas dan terperinci ini dalam bantuk manual dan buku yang memungkinkan proses pembelajaran dan penyebaran ilmu dan pengetahuan di dalam TPE menjadi lebih cepat dan semakin baik.
DR. Zulkieflimansyah, Ph.D. © 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar